al-Mansyuur
“Islam ini pada awalnya dianggap aneh dan akan kembali menjadi aneh sebagaimana awalnya dan beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh saat itu.” (HR. Muslim dalam Shohihnya, Kitab Iman (145), dan Sunan Ibnu Majah bab Al-Fitan (3986), Musnad Imam Ahmad bin Hambal (2/389)
Minggu, 17 Maret 2013
Minggu, 22 Juli 2012
Sekilas tentang Raja Faisal
Ketika Raja Faisal memutus pasokan minyak hingga negara-negara barat
mengalami krisis minyak pada Oktober 1973, ia melontarkan kalimat yang
terkenal,
"Kami dan leluhur kami telah mampu bertahan hidup dari kurma dan susu,
dan kami akan kembali dengan cara itu lagi untuk bertahan hidup (tanpa bantuan
barang-barang dari barat)"
Di hari itu, Henry
Kissinger (Menteri Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat) mengunjungi Raja
Faisal dan mencoba membujuknya untuk menarik
keputusannya. Dalam memoarnya, ia menjumpai sang Raja sedang murung, maka Henry Kissinger mencoba melontarkan sebuah lelucon untuk menghibur sang Raja,
keputusannya. Dalam memoarnya, ia menjumpai sang Raja sedang murung, maka Henry Kissinger mencoba melontarkan sebuah lelucon untuk menghibur sang Raja,
"Pesawatku kehabisan minyak, berkenankah yang mulia memerintahkan
orang agar mengisinya dengan minyak kembali? Dan kami siap membayarnya dengan
kurs internasional"
Namun sang Raja tak tertawa sedikitpun, ia memandang Henry Kissinger sambil berkata,
"Dan aku hanyalah seorang lelaki tua yang mendambakan untuk dapat
beribadah (sholat dan do`a) di Masjidil Aqsa (Al Aqsa). Maka maukah engkau
(Amerika) mengabulkan permintaanku ini?"
Note : Ini adalah sebuah sindiran balik sang Raja untuk Amerika yang mendukung penjajahan Israel atas tanah Palestina (Al Aqsa). Sayangnya negeri-negeri Arab seolah lupa dengan kisah nan mahsyur ini. Namun semoga kita dan generasi selanjutnya tak `kan lupa.
Muhammad bin Abdul Wahab Fitnah Nejed ? (part.3)
Kedua : Muhammad bin Abdul Wahhab dan cukur rambut [6]
Adapun tudingan saudara Masun Said Alwy bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya dan ini termasuk dalam hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ”Tanda mereka adalah cukur rambut.”
Kebohongan ini pun bukanlah hal yang baru. Ini hanya daur ulang dari para pembohong sebelumnya seperti, Jamil az-Zuhawi al-Iraqi dalam al-Fajr ash-Shadiq dan Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah, dan lain-lain.
Tuduhan ini sangat mentah. Tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Ada beberapa point untuk mendustakan tuduhan ini,
(1) Mereka mendustakan tuduhan bohong ini
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala membantah
tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak mencukur rambut
kepalanya,
”Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang
beriman kepada Alloh dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini. Karena
kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari
perkara-perkara agama yang maklum bi dharurah (diketahui oleh semua).
Macam-macam kekufuran, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara
yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk
di antaranya (kekufuran atau kemurtadan), bahkan kamipun tidak berpendapat
bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari
Islam bila ditinggalkan.” (Durarus Saniyyah [10/275-276])
Syaikh Sulaiman bin
Sahman berkata, ”Ini termasuk kebohongan, kedustaan, kezhaliman, dan
penganiayaan.” (adh-Dhiya’ asy-Syariq [hal.119])
Syaikh Muhammad Basyir
al-Hindi berkata juga, ”Ini adalah kedustaan yang sangat jelas dan
kebohongan yang sangat keji.” (Shiyanatul Insan ‘an Waswasah Syaikh
Dahlan [hal.560])
(2) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang mencukur rambut
Merupakan bukti yang
menguatkan kebohongan tuduhan ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
telah menjelaskan pendapatnya dalam masalah mencukur rambut atau memeliharanya,
yang menyelisihi tuduhan musuh-musuhnya. Beliau berkata,
”Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang yang memelihara rambutnya? Dia
menjawab, ’Sunnah yang bagus, seandainya kami mampu maka kami akan
melakukannya. Rambut Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai ke bahunya.’
Dan disunnahkan sifat rambut seorang seperti sifat rambut Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Kalau panjang maka sampai ke bahu, kalau pendek maka sampai
ke daun telinga.”
Beliau rahimahullah juga berkata, ”Dibencikah mencukur rambut kepala pada
selain haji dan umrah? Ada dua riwayat, Pertama: Dibenci, berdasarkan sabda
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang Khawarij, ’Tanda mereka adalah
bercukur.’ Kedua: Tidak dibenci, berdasarkan larangannya tentang qaza’
(mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya), ’Cukurlah semua
atau biarkan semua.’ (HR. Abu Dawud).
Ibnu Abdil Barr berkata, ’Para ulama di setiap tempat bersepakat bolehnya
bercukur.’ Cukuplah ini sebagai hujjah.” (Mukhtashar
al-Inshaf wa Syarh al-Kabir [1/28])
(3) Pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tentang Khawarij
Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dikategorikan
termasuk hadits yang disinyalir Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tentang Khawarij, padahal beliau sendiri berlepas diri dari Khawarij.
Perhatikan ucapannya, ”Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ciri-ciri khawarij, kejelekan mereka
serta anjuran memerangi mereka.” (Mukhtashar Sirah Rasul [hal.498])
(4) Ibadah dengan mencukur gundul merupakan syi’ar Khawarij
Adapun ucapan saudara ”Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada
aliran-aliran sesat lain sebelumnya”, ini merupakan kesalahan dan
kejahilan. Sebab ibadah dengan cukur gundul ini adalah syi’ar aliran sesat
Khawarij dan diikuti sebagian sufi.
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha berkata dalam Fatawanya (hal. 347), ”Alasan para ulama membenci cukur
rambut dan menganggapnya menyelisihi sunnah karena hal itu adalah syi’ar
Khawarij dahulu.” (lihat pula Aridhatul Ahwadzi [7/256] oleh Ibnul
Arabi dan Fathul Bari [13/669] oleh Ibnu Hajar)
Dan (syi’ar) ini juga
diikuti oleh sebagian kelompok sufi, sebagaimana dijelaskan oleh, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam: al-Istiqamah [1/256]
dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ahkam Ahli Dzimmah [2/749].
dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ahkam Ahli Dzimmah [2/749].
Maka, ucapan “Hal ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya” adalah kejahilan dan kesalahan.
Ketiga : Berdusta atas nama hadits [7]
Adapun hadits yang dinukil oleh saudara Masun Said Alwy dari kitab “Jala’udz Dzolam fir Raddi ‘ala Najdi Al-Ladzi Adholla Awam” oleh Sayyid Alwy al-Haddad dari Abbas bin Abdul Muthallib, maka ini adalah kebodohan di atas kebodohan. Sebab hadits ini tidak ada asal usulnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, tetapi tetap dijadikan argumen untuk mendukung hawa nafsunya.
Anda jangan tertipu
dengan ucapan di akhirnya : “Al-Hadits”!!
Seandainya itu
diriwayatkan oleh ahli hadits, maka mengapa tidak dia sebutkan?! Apa beratnya?
Lebih terkejut lagi, kalau anda tahu bahwa ucapan “Al-Hadits” ini sebenarnya
bukan dari kitab aslinya, melainkan hanyalah ucapan Masun Said Alwy.
Seharusnya saudara
Masun Said Alwy menukil takhrij lucu dari kitab aslinya. Si pengarang kitab
tersebut mengatakan, ”Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) yang
mendukung maknanya, sekalipun tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya.” !!
Kalau memang tidak diketahui
siapa yang meriwayatkannya, mengapa dia berdalil dengannya?! Jadi, hadits ini
hanyalah buatan orang tersebut dan yang semodel dengannya. Dia berdusta atas
nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- secara terang-terangan
di depan makhluk. Aduhai, alangkah rusaknya hati yang berani berbuat demikian,
dan alangkah buruknya hati yang mencintai orang-orang model mereka! Mereka
berdusta atas nama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengaku cinta
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Mungkinkah dua hal ini dapat bersatu di
hati seseorang?! Sekali-kali tidak, kecuali di hati seorang ahli bid’ah dan
pendusta.
Sungguh lucu ucapannya “Tidak
diketahui siapa yang meriwayatkannya”. Seandainya dia menyandarkannya
kepada kitab yang tidak ada wujudnya, niscaya akan lebih laris kebohongannya di
tengah-tengah orang-orang jahil, bukan bagi para ulama yang mengetahui cahaya
ucapan Nabi.
Kami harap anda jangan
heran, karena berdusta dan menyebarkan hadits-hadits dusta adalah kebiasaan
setiap penggemar bid’ah.
PENUTUP & NASIHAT
Usai kita menanggapi tiga permasalahan di atas, penulis merasa perlu menyodorkan nasihat bagi kita semua dan secara khusus kepada saudara Masun Said Alwy, penulis artikel ”Membongkar Kedok Wahabi”,
(1) Hendaknya kita mempelajari makna hadits dengan bantuan kitab-kitab syarah
(penjelasan) para ulama agar tidak ngawur menafsirkannya.
Alangkah indahnya
ucapan Sufyan bin ‘Uyainah,
يَا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ تَعَلَّمُوْا مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ فَإِنِّيْ تَعَلَّمْتُ مَعَانِيَ الْحَدِيْثِ ثَلاَثِيْنَ سَنَةً
“Wahai penuntut ilmu
hadits! Pelajarilah makna hadits, sesungguhnya saya mempelajari makna hadits
selama tiga puluh tahun”.
(2) Hendaknya kita lebih selektif dan kritis dalam menerima berita, sebagaimana
yang diperintahkan Alloh dalam kitab-Nya (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. al-Hujurat : 6)
Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha berkata, ”Sesungguhnya telah sampai kepada para ulama India dan Yaman
berita-berita tentang Syaikh Ibnu Abdil Wahhab. Lalu mereka membahas,
memeriksa, dan meneliti sebagaimana perintah Alloh, hingga jelaslah bagi mereka
bahwa para pencelanya adalah pembohong yang tidak amanah.” (Muqaddimah Syiyanatul
Insan [hal.29-30])
Maka kepada para
pendengki dakwah ini, bersikap adillah kalian dan periksalah berita yang sampai
kepada kalian, niscaya kalian akan segera sadar bahwa kalian dibutakan dengan
kedustaan dan tuduhan!
(3) Seringkali kami menasehatkan kepada saudara-saudara kami agar waspada dalam
menyampaikan hadits lemah dan palsu, apalagi dusta yang tidak ada asal usulnya.
Ditambah lagi, apabila hal itu untuk mendukung selera hawa nafsu. Semua itu
dosa yang sangat berbahaya, karena termasuk dusta atas nama Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam-.
Sebagaimana kami nasehatkan juga agar kita selektif dalam menyebutkan
hadits, yaitu hendaknya disertai riwayatnya, jangan hanya sekedar menyebutkan
“al-Hadits” begitu saja.
Akhirnya kita memohon kepada Alloh hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.
Akhirnya kita memohon kepada Alloh hidayah dan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Pemurah.
Artikel : http://abiubaidah.com/
([1]) Seperti tuduhan kejinya bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah alat Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya, mengkafirkan kaum muslimin, punya keinginan mengaku nabi, merendahkan Nabi n/ dan melecehkannya, menghancurkan makam-makam bersejarah dan tuduhan-tuduhan dusta lainnya. Penulis telah berniat membongkar kebohongan-kebohongan ini secara terperinci pada edisi ini tetapi keterbatasan halaman mengurungkan niatnya. Semoga pada edisi-edisi berikutnya, Alloh memudahkan terwujudnya niat baiknya. Aamiin.
([2]) Disadur dari kitab al-Iraq fi Ahadits wa Atsar al-Fitan oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet. Maktabah al-Furqan.
([3]) Telah diulas bantahannya dalam majalah Al Furqon Edisi 3 Tahun V Rubrik ”Kutub”. Silakan baca kembali.
([4]) Oleh karenanya, para ulama menjadikan hadits ini sebagai salah satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad. Lihat Umdatul Qari (24/200) oleh al-’Aini dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (5/655), dan Takhrij Ahadits Fadhail Syam (hal.26-27) oleh al-Albani rahimahullah.
([5]) ”Tak seorang muslim pun mengatakan tercelanya para ulama Iraq.
Bagaimana tidak, para pembesar ahli hadits, fiqh, dan jarh wa ta’dil, mayoritas
mereka dari Iraq.” (Mishbah Zhalam [hal.336])
([6]) Disadur dari risalah Sya’rus ar-Ra’si oleh Sulaiman bin Shalih
al-Khurasyi.
([7]) Lihat Muqaddimah Hadzihi Mafahimuna oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. http://abiubaidah.com/kritikhadits-wahabi.html/
Muhammad bin Abdul Wahab Fitnah Nejed ? (part.2)
(2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas.
Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah [4], baik yang telah terjadi maupun yang
belum terjadi. Seperti,
Ø Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj
Ø Perang Jamal
Ø Perang Shifin
Ø Fitnah Karbala
Ø Tragedi Tatar
Ø Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij yang
muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–, Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih
kuat–, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Qadariyah. Awal kemunculan mereka di Iraq,
sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.
Dan kenyataan yang kita
saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu
mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan)
orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar
memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan
menyatukan barisan mereka. Aamiin.
Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam al-Istidzkar (27/248), ”Rasulullah mengkhabarkan
datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa
kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana. Seperti perang Jamal,
perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya dari fitnah yang
terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang. Akan sangat
panjang kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap penjuru kota
Islam, namun terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”
Syaikh Abdur Rahman bin
Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265), ”Telah
terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah
terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah,
seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah
Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan
Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”
Syaikh Mahmud Syukri
al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh,
Iraq memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam
fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’
(kelompok Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak
dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq.
Fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok
ajaran mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur.
Fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang
berkembang di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan
ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin
Abu Thalib-radhiyallahu a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat,
merupakan hal yang sangat masyhur juga.”
(3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud hadits di atas adalah Nejed
Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya
mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan
seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu
tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di
tempat tersebut.
Bukankah Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah
Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan
setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela,
padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di
dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di
dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin
seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di
tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus
fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an
Waswasah Syaikh Dahlan [hal.498-500] oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)
Syaikh Abdur Rahman bin
Hasan mengatakan, ”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu
tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat
keutamaannya. Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat
ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya. Seandainya Nejed
tercela karena Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para
pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku
nabi. Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota
Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi dakwahnya.” (Majmu’atur
Rasa’il wal Masa’il [4/265]).
Syaikh Abdul Lathif bin
Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis [hal.92]
”Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah
bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah
yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang
paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan, dan kesyirikan,
paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salafush shalih. Jadi,
keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya.”
Sebagai kesimpulan,
penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini,
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah yang telah menepis salah paham
hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij hadits
yang panjang,
”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah
yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana
dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh
para ulama semenjak dahulu seperti Imam Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan
sebagainya.
Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela
tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia orang yang shalih. Demikian pula
sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Makkah, Madinah, dan Syam.
Dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq [5] ? Alangkah bagusnya ucapan
Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak dirinya hijrah dari Iraq ke
Syam, ”Amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun
menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal perbuatannya.”
(Silsilah Ahadits Shahihah [5/305])
Beliau rahimahullah juga
berkata,
”Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi
adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara
jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda
kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab
perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari
arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari [7/77]
dan Ahmad [2/85], [153] meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya dia
menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu a’nhu- ketika ditanya oleh seorang dari
Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi muhrim (orang yang sedang ihram). Maka
berkata Ibnu Umar,
’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim
membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan
beliau (Nabi) sendiri bersabda: Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah
kesayanganku di dunia.’”
(Silsilah Ahadits Shahihah [5/655-656])
Beliau rahimahullah juga berkata,
”Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan
sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits
ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”
(Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq [hal.26-27])
Muhammad bin Abdul Wahab Fitnah Nejed ? (part.1)
إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Muhammad bin Abdul Wahhab = Fitnah Nejed?
Sesungguhnya Allah
telah berjanji menjaga kemurnian agama-Nya, dengan membangkitkan sebagian
hamba-Nya untuk berjuang membela agama dan membantah ahli bid’ah, para pengekor
hawa nafsu, yang seringkali menyemarakkan agama dengan kebid’ahan dan
mempermainkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah seperti anak kecil mempermainkan
tali mainannya. Mereka memahami nash-nash dengan pemahaman yang keliru dan
lucu. Hal itu karena mereka memaksakan dalil agar sesuai dengan selera hawa
nafsu.
Bila anda ingin bukti, terlalu banyak, tetapi contoh berikut ini mungkin
dapat mewakili.
Dalam sebuah majalah
bulanan yang terbit di salah satu kota Jawa timur, seorang yang menamakan
dirinya ”Masun Said Alwy” menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman
berjudul ”Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”.
Setelah penulis mencoba
membaca tulisan tersebut, ternyata hanya keheranan yang saya dapati. Bagaimana
tidak? Tulisan tersebut tiada berisi melainkan kebohongan dan kedustaan,
sampai-sampai betapa hati ini ingin sekali berkata kepada penulis makalah
tersebut, ”Alangkah beraninya anda berdusta! Tidakkah anda takut siksa?!”
Sungguh banyak sekali
kebohongan yang kudapati [1], namun yang menarik perhatian kita untuk menjadi
topik bahasan rubrik hadits adalah ucapannya yang berkaitan tentang “hadits”
sebagai berikut,
”Sungguh Nabi shallollohu alaihi wasallam telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau shallollohu alaihi wasallam dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih Bukhari & Muslim dan lainnya”. Di antaranya,
الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا الْفِتْنَةُ مِنْ هَا هُنَا وَأَشَارَ إِلَى الْمَشْرِقِ
“Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,
sambil menunjuk ke arah timur (Nejed)”. (HR. Muslim dalam Kitabul
Fitan)
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنَ الْمَشْرِقِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يَعُوْدُوْنَ فِيْهِ حَتَّى يَعُوْدَ السَّهْمُ إِلَى فَوْقِهِ سِيْمَاهُمْ التَّحْلِيْقُ. رواه البخاري
“Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an
namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka
keluar dari agama seperti anak anah keluar dari busurnya, mereka tidak akan
bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ke tempatnya, tanda-tanda
mereka ialah bercukur”. (HR. Bukhari [no.7123 Juz 6 hal.20748]. Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Nabi shallollohu alaihi wasallam pernah berdoa,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
“Ya Alloh, berikanlah kami berkah dalam negara Syam dan Yaman. Para sahabat bertanya, “Dan
dari Nejed wahai Rasulullah”, beliau berdoa, “Ya Alloh, berikanlah kami
berkah dalam negara Syam dan Yaman”, dan pada yang ketiga kalinya beliau shallollohu
alaihi wasallam bersabda,
هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ وَفِيْ رِوَايَةٍ قَرْنَا الشَّيْطَانِ
“Di sana (Nejed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul
tanduk Syetan”. Dalam riwayat lain, “Dua tanduk Syetan”.
Bani Hanifah adalah
kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Su’ud. Kemudian dalam
kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain
ialah Muhammad bin Abdul Wahhab…”.
Dalam hadits-hadits
tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini
adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin
Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut
kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari
majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada
aliran-aliran sesat lain sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Sayyid Abdur
Rahman al-Ahdal, “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin
Abdul Wahhab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah shallollohu
alaihi wasallam itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka
adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat
demikian”.
Al Allamah Sayyid Alwi
bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah Al-Haddad menyebutkan dalam kitabnya
Jala’udz Dzolam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul
Muthalib dari Nabi shallollohu alaihi wasallam,
سَيَخْرُجُ فِيْ ثَانِيْ عَشَرَ قَرْنًا فِيْ وَادِيْ بَنِيْ حَنِيْفَةَ رَجُلٌ كَهَيْئَةِ الثَّوْرِ لاَيَزَالُُ يَلْعَقُ بَرَاطِمَهُ يَكْثُرُ فِيْ زَمَانِهِ الْهَرَجُ وَالْمَرَجُ يَسْتَحِلُّوْنَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَتَّخِذُوْنَهَا بَيْنَهُمْ مَتْجَرًا وَيَسْتَحِلُّوْنَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang
lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu
menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka
menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan
darah kaum muslimin”.
INILAH JAWABANNYA
Demikianlah teks ucapannya sebagaimana termuat dalam Majalah ”Cahaya Nabawiy” Edisi 33 Th. III Sya’ban 1426 H (September 2005 M) hal. 15-17 tanpa saya kurangi atau tambahi. Ucapan di atas mendorong penulis menanggapinya dalam tiga point pembahasan,
Pertama : Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab Adalah Fitnah Nejed? [2]
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara Masun Said Alwy di atas bukanlah hal baru melainkan hanyalah daur ulang dari para pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, semisal al-Haddad dalam Mishbahul Anam [hal.5-7], al-A’jili dalam Kasyful Irtiyab [hal.120], Ahmad Zaini Dahlan dalam Durarus Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah [hal.54] [3], Muhammad Hasan al-Musawi dalam al-Barahin al-Jaliyyah [hal.71], an-Nabhani dalam ar-Raiyah ash-Sughra [hal.27], dan lain-lain dari orang-orang yang hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud ”Nejed” dalam hadits-hadits di atas adalah Hijaz (Saudi Arabia sekarang) dan maksud fitnah yang terjadi adalah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!
Kebohongan ini sangat jelas bagi orang yang dikaruniai hidayah ilmu dan
diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi,
A. Hadits itu saling menafsirkan
Bagi orang yang mau
meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya
tidak samar lagi baginya penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini.
Dalam lafazh yang dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir [12/384
no.13422] dari jalur Ismail bin Mas’ud, Menceritakan kami Ubaidullah bin
Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi kami
dalam Yaman kami”. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para
sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya
di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”
Sanad hadits ini bagus.
Ubaidullah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari
dalam Tarikh al-Kabir [5/388/1247].
Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil [5/322] dari
ayahnya, ”Shalih (bagus) haditsnya.”
Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam al-Ma’rifah [2/746-748],
al-Mukhallish dalam al-Fawa’id al-Muntaqah [7/2-3], al-Jurjani dalam al-Fawa’id
[2/164], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [6/133], dan Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimsyaq [1/120] dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar
dari ayahnya dengan lafazh,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah kami, wahai Alloh berkahilah kami
dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami. Wahai Alloh,
berkahilah kami dalam sha’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami”. Seorang bertanya, ”Wahai
Rasulullah! Dalam Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut
mengatakan, ”Dalam Iraq kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya
bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk
setan.” (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Imam Muslim dalam Shahihnya [2905] meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari
ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata,
يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang
masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya
mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ’Sesungguhnya fitnah datangnya
dari arah sini –beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur–, dari
situlah muncul tanduk setan….’”
Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq
sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.
Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan (2/1274), ”Nejed: arah
timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli
makna ’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari ’Ghaur’ yaitu
setiap tanah yang rendah seperti Tihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan
Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj
dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.”
Demikian pula dijelaskan oleh para ulama lainnya seperti,
al-‘Aini dalam Umdatul Qari (24/200), al-Kirmani dalam Syarh
Shahih Bukhari (24/168), al-Qashthalani dalam Irsyad Sari (10/181), Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari (13/47), dan sebagainya.
Hal ini dapat kita temukan
juga dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab seperti al-Qamus al-Muhith oleh
ar-Razi dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur, dan dalam kitab-kitab gharib
hadits seperti an-Nihayah fi Gharib Hadits oleh Ibnu Atsir.
Dengan sedikit
keterangan di atas, jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan, bahwa maksud
”Nejed” dalam riwayat hadits di atas bukanlah nama negeri tertentu, tetapi
untuk setiap tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Dengan demikian maka
Nejed yang dikenal oleh dunia Arab banyak sekali jumlahnya. (lihat Mu’jam
al-Buldan [5/265], Taj al-Arus [2/509], Mu’jam al-Mufahras li
Alfazh Hadits [8/339])
Jadi, Nejed yang
merupakan tempat munculnya tanduk setan dan sumber kerusakan (fitnah) adalah
arah Iraq. Karena itulah timur kota Madinah Nabawiyah. Maka seluruh riwayat dan
lafazh hadits ini kalau digabungkan, ternyata saling menafsirkan antara satu
dengan lainnya, sebagaimana hal ini juga dikuatkan oleh penafsiran para ulama
–yang terdepan adalah Salim, anak Ibnu Umar-radhiyallahu a’nhu- dan para pakar
ahli bahasa.
Rabu, 18 Juli 2012
Pertemuan Abu Bakr Ba'asyir dengan Ustadz Ja'far Umar Thalib
PERTEMUAN ABU BAKAR BA’ASYIR DENGAN USTADZ. JA’FAR UMAR THALIB.
إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
“Kisah Lama” yang Menunjukkan Bagaimana Tidak Amanahnya Khowarij
Keterangan Mengenai
Pertemuan Abu Bakr Ba’asyir dengan Ustadz Ja’far Umar Thalib di Bandung pada
tanggal 13 Februari 2007 yang diselenggarakan oleh FUUI (Forum Ulama Umat
Islam) Jawa Barat.
Menyikapi gencarnya
berita tentang perseteruan antara Abu Bakr Ba’asyir dengan Ustadz Ja’far Umar
Thalib di mass media, maka Ustadz Athian ‘Ali sebagai ketua FUUI Jawa Barat
melalui sekretarisnya saudara Hedi Muhammad, menelpon Ustadz Ja’far Umar Thalib
memintanya untuk bersedia dipertemukan dengan Abu Bakr Ba’asyir. Maka Ustadz
Ja’far pun menyatakan kesediaannya untuk memenuhi undangan dari FUUI tersebut
dan terjadilah pertemuan yang penuh kesialan itu.
Dalam pertemuan
tersebut dihadiri oleh Ustadz Athian ‘Ali, Hedi Muhammad, Abu Bakr Ba’asyir dan
Ustadz Ja’far Umar Thalib. Ke-empat peserta pertemuan tersebut telah sepakat
untuk menjadikan pertemuan itu tertutup dari publik dan sepakat pula untuk
tidak memberitakan isi pertemuan tersebut kepada publik. Namun sebagaimana
kebiasaan seorang Hizbiy, terlebih lagi Takfiri , mempunyai mental khianat
setiap melakukan kesepakatan apapun. Dalam hal ini lakonnya hizbiy dan takfiri
adalah Abu bakr Ba’asyir, dan muncul pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
mempublikasikan berita tentang isi pertemuan tersebut di website http://swaramuslim.net
(Kasus Poso: Ba’asyir Didzalimi Jakfar Umar Thalib) dengan berbagai manipulasi
berita yang menjadi bumbu penyedap berita isi pertemuan tersebut.
Maka, dalam kesempatan
ini kami berkewajiban untuk menyuguhkan kepada kaum muslimin isi pertemuan sial
tersebut dengan sejujurnya, setelah dilansirnya berita kebohongan seputar
pertemuan tersebut oleh Abu Bakr Ba’asyir dan CS-nya. Ustadz Ja’far Umar Thalib
tidak mampu memberitakan secara lengkap isi pertemuan tersebut karena memang
pertemuan itu off the record dan sudah lewat masanya, sehingga yang bisa
diberitakan oleh beliau disini hanya sebatas apa yang sempat beliau ingat, dan
kata-kata yang disampaikan disini tidak persis seperti apa yang diucapkan dalam
pertemuan tersebut, namun maknanya kurang lebih demikian.
Pertemuan dimulai
dengan pengantar pembahasan yang disampaikan oleh moderator pertemuan tersebut
yaitu Ustadz Athian ‘Ali, dimana beliau menyatakan keresahan kaum muslimin
dengan silang pendapat yang terjadi antara Abu Bakr Ba’asyir dengan Ustadz
Ja’far Umar Thalib didepan publik. Ustadz Athian ‘Ali mengambil kesimpulan
bahwa berbagai silang pendapat ini terjadi adalah karena majalah Risalah
Mujahidin yang diterbitkan oleh para pimpinan MMI (Majlis Mujahidin Indonesia)
edisi Desember 2006, yang memberitakan,
“...Ja’far Umar Thalib di rekrut oleh DENSUS 88 dan disuruh oleh Mabes
POLRI untuk membentuk Laskar Jihad yang baru, untuk menjadi bemper segenap
operasi keamanan yang dilakukan oleh polisi khususnya yang berkenaan dengan
umat Islam. Ja’far Umar Thalib dan Laskar Jihadnya tidak pernah berperang
membela kaum muslimin di Ambon ataupun di Poso yang dilakukannya hanyalah
mejeng di kedua tempat tersebut dan menjadi kambing bego hitam bagi kepentingan
politik pemerintah…”
Maka Ustadz Athian ‘Ali
mengharapkan dalam pertemuan tersebut kiranya dapat di clear-kan pemberitaan
yang bisa memancing kemarahan Ustadz Ja’far Umar Thalib itu, ini semua
dilakukan demi menjaga kemaslahatan ummat dan menghindari kebimbangan ummat.
Kemudian dilanjutkan oleh perkataan Abu Bakr Ba’asyir yang menegaskan bahwa
dirinya tidak mengetahui kalau ternyata ada tulisan seperti itu yang dimuat
dalam majalah Risalah Mujahidin tersebut, Abu Bakr Ba’asyir menyatakan “ ...siapapun
orangnya yang dikatakan demikian pasti akan marah”. Abu Bakr Ba’asyir
mengusulkan untuk dibuatnya klarifikasi dari Ustadz Ja’far Umar Thalib di
Risalah Mujahidin sebagai hak jawab yang harus diberikan kepadanya untuk
menetralisir sebab-sebab perseteruan antara umat Islam. Setelah Ustadz Athian
‘Ali dan Abu Bakr Ba’asyir berbicara dalam pertemuan tersebut, maka Ustadz
Ja’far Umar Thalib dapat giliran untuk berbicara dan beliau menerangkan sebagai
berikut,
“Tulisan yang ada di Risalah Mujahidin edisi desember 2006 itu sesungguhnya bukan pertama kali caci-makian dan tuduhan palsu semacam itu di alamatkan kepada saya dan Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pada tahun 2000 ketika saya mendeklarasikan berdirinya laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka Abu Bakr Ba’asyir dan JI (Jama’ah Islamiyah) nya menuduh Ja’far sebagai kaki tangan CIA yang melakukan operasi intelejen terhadap umat Islam. Pada tahun 2001 majalah Media Dakwah di Jakarta yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, melansir wawancara dengan Adnan Arsal yang memberitakan bahwa “..Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Poso bila ada serangan Nashoro terhadap kaum muslimin, maka LJ (Laskar Jihad) sembunyi, sedangkan Mujahidin bersama kaum muslimin berperang memukul mundur serangan Nashoro itu. Dan bila para Mujahidin menang, maka segera LJ muncul dari persembunyiaannya dan menulis huruf LJ di pohon-pohon (yakni di lokasi pertempuran) untuk mengesankan bahwa yang memenangkan pertempuran itu adalah LJ”
Dan masih banyak lagi
omongan-omongan dusta yang mendiskreditkan Ja’far Umar Thalib dan Laskar Jihad
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagaimana kedustaan MMI yang dimuat di Risalah
Mujahidin tersebut. Semua bualan dan kedustaan gerombolan Abu Bakr Ba’asyir dan
JI nya itu tidak dianggap oleh Ja’far Umar Thalib sebagai pokok permasalahan.
Semua itu tidak mempengaruhi gerakan dakwah Salafiyyah yang –alhamdulillah-
terus dilancarkan oleh Ja’far umar Thalib dan Salafiyyin yang lainnya, bak kata
pepatah “Biar anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.
Yang justru jadi pokok
permasalahan adalah pemahaman takfiriyah yang ditebarkan oleh Abu Bakr Ba’asyir
dikalangan umat Islam di Indonesia, pemahaman ini sangat berbahaya karena sesat
dan menyesatkan terhadap pemahaman agama umat Islam. Dimana dalam pemahaman ini
memberikan doktrinasi bahwa orang yang menentang Abu Bakr Ba’asyir dan JI nya
dianggap kafir atau dianggap sebagai musuh Islam. Sehingga seorang muslim yang
telah divonis kafir itu dihalalkan darahnya (yakni boleh dibunuh dan dilukai),
dihalalkan hartanya (boleh dirampas atau dirusakkan hartanya), dihalalkan
kehormatannya (boleh dilecehkan dan dijatuhkan kehormatannya).
Atas dasar pemahaman
inilah, Abu Bakr Ba’asyir dan JI nya melakukan berbagai kekacauan di Indonesia,
termasuk yang paling akhir dan paling menyakitkan adalah apa yang mereka
lakukan di Poso terhadap kaum muslimin. Dua orang muslim di Poso dibunuh oleh
anak buah Abu Bakr Ba’asyir, hanya karena dinilai keduanya itu menentang
gerakan JI, sehingga di cap sebagai Intel atau BANPOL (bantuan polisi) yang
berarti harus dikafirkan dan dihalalkan darahnya. Kemudian Abu Bakr Ba’asyir
dan JI nya berusaha melindungi 29 orang yang termasuk dalam DPO (daftar
pencarian orang) pihak POLRI dan membangkitkan semangat kaum muslimin di Poso
untuk bersedia menjadi bemper bagi ke 29 DPO tersebut dalam melancarkan
perlawanan terhadap aparat kepolisian.
Sehingga meletuslah
pertempuran antara gerombolan Abu Bakr Ba’asyir beserta JI nya melawan polisi
di Gebang Rejo Poso. Tentu kenyataan demikian ini sangat menyakitkan hati umat
Islam yang mengerti permasalahan, dan termasuk dalam hal ini yang merasa sakit
dengan kejahatan gerombolan Abu Bakr Ba’asyir dan JI nya adalah Ustadz Ja’far
Umar Thalib.
Mendengar penjelasan Ustadz Ja’far Umar Thalib tersebut di atas, Abu Bakr
Ba’asyir langsung menyatakan,
“...Ja’far ini jangan hanya mengambil informasi tentang peristiwa Poso dari Jusuf Kalla atau Polisi saja, mestinya Ja’far mengambil informasi dari orang Poso asli seperti Adnan Arsal atau dari Fauzan Al Anshari, agar tidak keliru dalam menilai permasalahan di Poso..”.
Ustadz Ja’far Umar Thalib menjawab,
“Saya datang ke Jusuf Kalla ataupun Polisi bukanlah untuk mengambil
informasi, tetapi untuk menyampaikan nasihat kepada mereka, karena mereka
adalah Ulil ‘Amri dan saya adalah seorang guru agama harus menyampaikan nasehat
kepada Ulil ‘Amri. Adapun informasi tentang kejadian di Poso, saya dapatkan
langsung dari masyarakat muslimin Poso ketika saya dengan 73 murid saya tinggal
di Poso sejak tanggal 11 Desember 2006 sampai 4 Januari 2007, selama 24 hari
saya tinggal di Poso itu, saya datang ke rumah-rumah muslimin juga ke
masjid-masjid dan pasar-pasar serta ke lorong-lorong untuk mendapatkan gambaran
kejelasan tentang apa yang sedang terjadi di Poso selama ini. Dari hasil
kunjungan tersebut saya menyimpulkan bahwa Abu Bakr Ba’asyir dan JI nya adalah
pendusta dan penipu yang mendustai dan menipu kaum muslimin di Indonesia dan di
Poso khususnya.”
Abu Bakr Ba’asyir menjawab,
“Apa buktinya kalau saya itu pendusta dan penipu?”
Ustadz Ja’far Umar Thalib menjawab,
“Agar kamu wahai Abu Bakr Ba’asyir mengerti definisi dusta maka cobalah
kamu baca dalam muqoddimah Shohih Muslim, bahwa disana Imam Muslim meriwayatkan
bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wasallam (Ustadz Ja’far
menyebutkan lafadz haditsnya)
..Cukup seseorang itu dikatakan telah berdusta bila dia memberitakan apa saja dari apa yang dia dengar..”
..Cukup seseorang itu dikatakan telah berdusta bila dia memberitakan apa saja dari apa yang dia dengar..”
Dalam hadits ini Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wasallam mendefinisikan
orang yang berdusta itu ialah orang yang suka memberitakan tentang apa yang dia
dengar tanpa ada upaya meneliti berita itu apakah benar atau salah. Maka dalam
konteks hadits ini kamu wahai Abu Bakr Ba’asyir adalah pendusta karena kamu
hanya memberitakan apa saja yang diceritakan oleh para dajjal (pendusta)
semacam Adnan Arsal ataupun Fauzan Al-Anshari, dan berita itu kamu jadikan
landasan untuk menghukumi suatu kejadian, bahkan kamu lemparkan kepada publik
tanpa kamu teliti apakah berita itu benar atau salah.
Adapun bukti bahwa kamu penipu, yakni bahwa kamu baru berteriak tentang pelanggaran HAM di Poso ketika anak buahmu kalah dalam tembak-menembak dengan aparat kepolisian, dan kamu tidak sama sekali menyinggung tentang kejahatan anak buahmu terhadap kaum muslimin di Poso yang menjadi prolog peristiwa tembak-menembak itu. Apakah tidak melanggar HAM ketika anak buahmu membunuh seorang muslim yang akan sholat dimasjid di kota Poso, hanya karena dugaan bahwa orang tersebut adalah intel polisi.!?? Apakah tidak melanggar HAM ketika anak buahmu membunuh seorang muslim yang tengah bercengkrama dengan keluarganya hanya karena orang tersebut dicurigai sebagai intel polisi…!?? Apakah tidak melanggar HAM ketika anak buahmu menteror Ustadz Lili di Poso, dengan mencoba untuk membakar mobil beliau digarasi rumahnya, hanya karena anggapanmu bahwa Ustadz tersebut adalah BANPOL..!??
Maka sungguh kamu penipu, karena kamu menutupi kebusukan perbuatan anak buahmu terhadap kaum muslimin di Poso dan kemudian meneriakkan dihadapan publik bahwa anak buahmu di aniaya oleh polisi, dan bahkan kamu menyerukan jihad melawan polisi. Seruan jihad kamu itu juga membuktikan bahwa kamu seorang takfiri, karena tidak mungkin kamu menyerukan jihad melawan polisi, kalau kamu tidak menganggap bahwa polisi itu adalah kafir musuh Islam.”
Mendengar penjelasan Ustadz Ja’far tersebut di atas, Abu Bakr Ba’asyir kemudian mengatakan,
“Saya tidak pernah menyerukan jihad, yang saya lakukan adalah memberi
peringatan kepada pemerintah bahwa jika DENSUS 88 terus-menerus menembaki kaum
muslimin di Poso, maka bisa jadi kaum muslimin akan menyerukan jihad melawan
DENSUS 88, dan saya mengutuk DENSUS 88 atas tindakannya.”
Ustadz Ja’far menjawab,
“Apapun perkataanmu, sesungguhnya kamu telah menyerukan jihad melawan
polisi, padahal kalau kamu tidak mengkafirkan mereka dan berpegang dengan
prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah maka kamu akan melihat bahwa mayoritas bahwa
polisi itu adalah muslimin sebagaimana mayoritas bangsa indonesia. Namun karena
kamu bermanhaj takfiri, maka kamu menilai bahwa muslimin yang tergabung dalam
DENSUS 88 itu adalah kuffar yang harus dilawan dengan jihad. Juga kalau kamu
bermanhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah niscaya kamu tidak akan mengutuk pemerintah
dan DENSUS 88 (aparat pemerintah) meskipun berbuat dzolim sedzolim-dzolimnya.
Cobalah kamu baca bagaimana perbuatan Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang
bernama Ahmad Bin Hambal Asy-Syaibani yang terkenal dengan sebutan Imam Hambali,
dimana beliau dipenjara dan disiksa dengan sadis oleh pemerintahan Al Ma’mun
dan Al Mu’tashim serta Al Mutawakkil berturut-turut, karena dipaksa untuk
menyatakan keyakinan bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk, padahal keyakinan itu
adalah keyakinan kufur. Imam Ahmad didalam penjara selama 2 tahun 7 bulan dan
ketika dibebaskan dari penjara Imam Ahmad selalu berdoa kepada Allah Ta’ala
disetiap Qiyamul Lail untuk memintakan ampunan bagi Al Ma’mun dan Al Mu’tashim
serta Al Mutawakkil, yang sangat mendzolimi beliau.
Sempat putra Imam Ahmad menanyakan kepada beliau; “Wahai ayah, mengapa ayah mendoakan ampunan bagi orang-orang yang sangat mendzolimi ayah..?” Imam Ahmad menjawab: “Wahai anakku, seandainya Allah memberitahu aku, bahwa Allah memberi satu doa untukku yang pasti dikabulkan olehNya, niscaya aku akan menggunakan satu doa itu untuk mendoakan agar para penguasa itu dapat petunjuk dari Allah. Karena bila mereka mendapatkan petunjuk dari Allah niscaya kebaikannya untuk segenap kaum muslimin dan bila mereka dikutuk oleh Allah niscaya kejelekkannya adalah untuk segenap kaum muslimin.
Demikianlah mestinya manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam menyikapi kedzoliman pemerintah. Tidak seperti kamu wahai Abu Bakr Ba’asyir, hanya karena kamu menduga bahwa pemerintah telah mendzolimi engkau, maka engkaupun mengutuknya. Dan kebiasaan mengutuk pemerintah itu adalah kebiasaan takfiri khowarij yang sesat dan menyesatkan.”
Ustadz Athian ‘Ali
ketika melihat perdebatan antara Ustadz Ja’far Umar Thalib dengan Abu bakr
Ba’asyir, akhirnya beliau menyimpulkan: “ternyata perbedaan antara Ustadz
Ja’far Umar Thalib dengan Abu Bakr Ba’asyir sangatlah mendasar. Dan berarti
kami telah keliru dalam memahami permasalahan antara kedua beliau, yang kami
duga permasalahannya itu hanya diseputar tulisan yang dilansir oleh majalah
Risalah Mujahidin itu”. Dan pertemuan pun ditutup dengan harapan kiranya
ada pertemuan lanjutan antara keduanya.
Sumber : http://alghuroba.org/front/node/r/87
Sumber : http://alghuroba.org/front/node/r/87
Top of Form
Langganan:
Postingan (Atom)