Kamis, 21 Juni 2012

Antara Adat dan Ibadah

إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار

            Ini adalah pembahasan yang tepat untuk membantah orang-orang yang dangkal akal dan ilmunya, yaitu orang-orang yang ketika dilarang berbuat bid'ah, mereka mengatakan, "kalau begitu mobil bid'ah, listrik bid'ah, sendok bid'ah, komputer bid'ah dan jam bid'ah."

            Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa, “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.

            Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkisar pada dua hadits.


Pertama : sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردرواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama), yang tidak ada contohnya dari kami, maka amal itu tertolak”. (HR al Bukhari [no.2550] dan Muslim [no. 1718]).


Kedua : sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

”Kalian lebih mengetahui tentang berbagai urusan dunia kalian”. (HR Muslim [no.1366]).

            Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

            Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib menaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

            Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at yaitu Allah dan Rasul-Nya.

            Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.

            Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah di dalam kitab al Iqtidha (II/582), “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada :
1. Ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat.
2.  Adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka.

            Adapun hukum asal dalam adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. (al I’tiham [I/37]).

            Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat dan segala urusan dunia.

            Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya, al Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hlm. 12), “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

            Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam asy Syathibi dalam kajian yang panjang dalam al I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

            Dengan demikian maka “tidak semua yang belum ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dapat dikatakan sebagai bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

            "Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at, maka hal tersebut bukan bid’ah sama sekali”  (ar Raudhah an Nadiyah [I/27]).

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al Qawa’id an Nuraniyah al Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah."

            Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, "hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (asy Syuraa : 21).

            Yusuf al Qaradhawi dalam al Halal wal Haram fil Islam (hal.21) berkata, “Adapun adat dan muamalah (urusan dunia), maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.

            Dengan mengetahui kaidah ini, maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.


دينك على قلبي ثبت القلوب يامقلب

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”
(HR Tirmidzi [no.3522], Ahmad [4/302], al Hakim [1/525], Shohih Sunan Tirmidzi [no.2792]).

Lihat:
  1. Ushul fil Bida’ was Sunan (94)
  2. Ushul fil Bida’ was Sunan (106)
  3. Al Iqtidha (II/582)
  4. Al I’tiham (I/37) oleh Imam Asy-Syatibi.
  5. ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab ar Raudhah an Nadiyah (I/27)
  6. Husnu at Tafahhum wad Darki (151) Abdullah al Ghumari
  7. Al Muwafaqat (II/305-315).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar