Rabu, 20 Juni 2012

Awas Hadits Palsu !!!


إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



HADITS-HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’

Hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam ada yang shahih, hasan, dha’if (lemah), dan maudhu’ (palsu).

Dalam kitab haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan tentang hadits dha’if, memilih judul: “Bab larangan menyampaikan hadits dari setiap apa yang didengar.” Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,

“Cukuplah seseorang sebagai pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: “Bab larangan meriwayatkan dari orang-orang dha’if (lemah).” Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,
“Kelak akan ada di akhir zaman segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu apa yang kamu tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka waspadalah dan jauhilah mereka.” (HR. Muslim)

Imam lbnu Hibban dalam kitab Shahih-nya menyebutkan: “Pasal; Peringatan terhadap wajibnya masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada Al-Mushthafa (Muhammad), sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya.” Selanjutnya beliau menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam,

“Barangsiapa berbohong atasku (dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, hadits hasan)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu’ (palsu), dengan sabdanya,

“Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (Muttafaq ‘alaih)


Tetapi sungguh amat disayangkan, kita banyak mendengar dari para Syaikh hadits-hadits maudhu’ dan dha’if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di antaranya seperti hadits,

“Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat.”

Al-Allamah lbnu Hazm berkata, “ltu bukan hadits, bahkan ia batil dan dusta, sebab jika perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq ) adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.”


Termasuk hadits makdzub (dusta) adalah:

“Belajarlah (ilmu) sihir, tetapi jangan mengamalkannya.”

“Seandainya salah seorang di antara kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu, niscaya akan bermanfaat baginya.”


Adapun hadits yang kini banyak beredar:

“Jauhkanlah masjidku dari anak-anak kecil dan orang-orang gila.”

Menurut Ibnu Hajar itu adalah hadits dha’if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak shahih. Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber asalnya.

Penolakan terhadap hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam 
 :
“Ajarilah anak-anakmu shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, hadits shahih)

Mengajar shalat tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu berada di masjid Nabi, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.

Tidak cukup pada akhir setiap hadits kita mengatakan, “Hadits riwayat At-Tirmidzi” atau lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang tidak shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan atau dha’if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, “Hadits riwayat Al-Bukhari atau Muslim” maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut senantiasa shahih.



Hadits dha’if tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam , karena adanya cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).

Jika salah seorang dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan daging yang kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan meninggalkan daging yang kurus lagi kering. Islam memerintahkan agar dalam berkurban kita memilih binatang sembelihan yang gemuk dan meninggalkan yang kurus. Jika demikian, bagaimana mungkin diperbolehkan mengambil hadits dha’if dalam masalah agama, apalagi masih ada hadits yang shahih…?

Para ulama hadits memberi ketentuan, bahwa hadist dha’if tidak boleh dikatakan dengan lafazh: Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits shahih. Tetapi hadits dha’if itu harus diucapkan dengan lafazh “ruwiya” (diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu untuk membedakan antara hadits dha’if dengan hadits shahih.

Sebagian ulama kontemporer berpendapat, hadits dha’if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
Ø  Hadits itu menyangkut masalah fadha’ilul a’maal (keutamaan-keutamaan amalan)
Ø  Hendaknya berada di bawah pengertian hadits shahih.
Ø  Hadits itu tidak terlalu amat lemah (dha’if).
Ø  Hendaknya tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam

Tetapi, saat ini orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali sebagian kecil dari mereka.




CONTOH HADITS MAUDHU’
“Sesungguhnya Allah menggenggam segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, ‘Jadilah Muhammad’.”

“Wahai Jabir, bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu.”

“Bertawassullah dengan martabat dan kedudukanku.”

“Barangsiapa yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku.”

“Pembicaraan di masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

“Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman.”

“Berpegang teguhlah kamu dengan agama orang-orang lemah.”

“Barangsiapa yang mengetahui dirinya, maka dia telah mengetahui Tuhannya.”

“Aku adalah harta yang tersembunyi.”

“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, ‘Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuni aku.”

“Semua manusia (dalam keadaan) mati kecuali para ulama. Semua ulama binasa kecuali mereka yang mengamalkan (Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam, kecuali mereka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam bahaya yang besar.”

“Para sahabatku laksana bintang-bintang. Siapa pun dari mereka yang engkau teladani, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.”

“Jika khatib telah naik mimbar, maka tak ada lagi shalat dan perbincangan.”

“Carilah Ilmu meskipun (sampai) di negeri Cina.”


Sumber : File CHM dari kitab Jalan Golongan yang Selamat karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Bagian (hal.41-42)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar