Kamis, 21 Juni 2012

Hadits-Hadits Dho'if Seputar Bulan Sya'ban

إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار


Hadits Pertama

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bila beliau telah memasuki bulan Rajab beliau berdoa: ‘Ya Allah, berkahilah untuk kami bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ahmad (1/259), Ath Thabarani dalam Al Ausath (no.3939) dan dalam Ad Du’a (no.911), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/375) dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (6/269) dari jalan Za’idah bin Abi Ar Ruqad dari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Za’idah bin Abi Ar Ruqad menurut Imam Bukhari munkarul hadits, dan Ziyad An Numairi juga lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam adz Dzahabi dalam Mizanul I’tidal. Dan hadits di atas dilemahkan pula oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Dho’îful Jami’.



Hadits Kedua

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَرُبَّمَا أَخَرَ ذَلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهَ صَوْمُ السَّنَةِ وَرُبَّمَا أَخَّرَهُ حَتَّى يَصُوْمُ شَعْبَانُ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tiga hari dalam sebulan. Dan kadang beliau mengakhirkan hal tersebut hingga terkumpul puasa setahun, dan kadang beliau akhirkan hingga beliau berpuasa Sya’ban.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath Thabarani dalam Al-Ausath (no.2098). 

Dan dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman Ibnu Abi Lailah dan beliau dha’îful hadîts (lemah haditsnya). Demikian keterangan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (3/441) dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/214).



Hadits Ketiga

رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِىْ
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulannya umatku.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/374) dari jalan Nuh bin Abi Maryam dari Zaid Al-‘Ammy dari Yazid Ar-Raqasyi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Berkata Al-Baihaqi setelah meriwayatkannya, “Sanad ini sangatlah mungkar.” Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyin Al-Ujab telah menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits palsu dari kedustaan Nuh bin Abi Maryam.

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adh-Dha’ifah (no.4400) menyebutkan bahwa Al-Ashbahani dalam At-Targhib membawakan riwayat lain dengan sanad yang mursal dari Al-Hasan Al-Bashri. Dan demikian pula disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/331), (621) dikeluarkan oleh Abul Fath Ibnu Abil Fawaris.



Hadits Keempat

فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ

“Keutamaan Rajab terhadap bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’an terhadap dzikir-dzikir selainnya, dan keutamaan Sya’ban terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Muhammad terhadap nabi-nabi selainnya, dan keutamaan Ramadhan terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap segenap hamba-Nya.”

Hadits di atas adalah hadits palsu

Demikian keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyin Al-Ujab sebagaimana dalam Kasyful Khafa’ karya Al-Ajluni (2/85) dan Al-Mashnu’ fi Ma’rifah Al-Hadits Al-Maudhu’ karya ‘Ali Qari’ hal. 128.



Hadits Kelima

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَانَ، قِيْلَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فِيْ رَمَضَانَ
“Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Puasa apakah yg afdhol setelah Ramadhan?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban, untuk mengagungkan Ramadhan.’ Kemudian ditanyakan lagi, ‘Shodaqah apakah yang afdhol?’ Beliau menjawab, ‘Shodaqah pada bulan Ramadhan.’”

Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (no.663) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Dan dalam sanadnya ada Shodaqah bin Musa dan beliau dho’îful hadîts. Hadits ini dilemahkan oleh At-Tirmidzi, As-Suyuthi dan Al-Albani

Demikian pula dilemahkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menganggap bahwa hadits di atas menyelisihi hadits Abu Hurairah riwayat Muslim (no.1163) dengan lafazh,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَّلاَةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.”

Bulan Muharram yang diinginkan dalam hadits mungkin bulan Muharram yang merupakan awal bulan dalam penanggalan Islam dan mungkin juga seluruh bulan harom dalam Islam yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.



Hadits Keenam

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ وَكَانَ أَكْثَرَ فِيْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يُنْسَخُ لِمَلَكِ الْمَوْتِ مِنْ يَقْبَضُ فَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُنْسَخَ اسْمِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berpuasa, dan kebanyakan puasa beliau pada bulan Sya’ban. Maka saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kenapa saya melihat kebanyakan puasamu (adalah) pada bulan Sya’ban?’ Beliau berkata, ‘Wahai ‘Aisyah, ia adalah bulan yang dituliskan untuk malaikat maut siapa yang akan dicabut nyawanya, maka saya senang namaku ditulis sedang saya dalam keadaan berpuasa.’”

Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal (1/250-251) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau menanyakan kedudukan hadits ini kepada ayahnya, Abu Hatim -salah seorang pakar Ilalul hadits di masanya-. Maka Abu Hatim berkomentar bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar.



Hadits Ketujuh

خَمْسُ لَيَالٍ لاَ تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ: أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَب، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
“Ada lima malam yang tidak tertolak padanya doa: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jum’at, mala ‘Iedul Fitri dan malam ‘Iedul Adha.”

Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dan Ad-Dailami dari hadits Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu. Demikian keterangan Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah (no.1452) dan beliau memvonis hadits di atas sebagai hadits maudhû’ (palsu).



Hadits Kedelapan

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مَسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهَ أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Bila datang malam nishfu Sya’ban maka lakukanlah Qiyam Lail dan puasa pada siang harinya, karena ketika matahari terbenam Allah turun pada malam itu ke langit dunia dan berkata, ‘Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya, adakah yang memohon rezki, niscaya Aku akan memberikannya, adakah yang tertimpa penyakit, niscaya Aku akan menyembuhkannya, adakah…, adakah… hingga terbit fajar.”

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (no.1388), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/378), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal. Seluruh ulama sepakat akan lemahnya hadits di atas. Namun Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah (no.2132) berpendapat bahwa sanad hadits di atas adalah palsu, karena Ibnu Abi Sarbah -salah seorang perawinya- telah dicap oleh Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in sebagai pemalsu hadits.



Hadits Kesembilan

مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

“Siapa yang menghidupkan malam dua ‘Ied dan malam nishfu Sya’ban, niscaya hatinya tidak akan mati pada hari semua hati menjadi mati.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah (2/71-72) dari shahabat Kurdus radhiyallahu ‘anhu. Demikian pula disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah (5/585) dan Ibnu Atsir dalam Usudul Ghabah (1/931). 

Al-Hafizh menyatakan bahwa Marwan bin Salim -salah seorang perawinya- adalah seorang rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta). Dalam Lisanul Mizan pada biografi ‘Isa bin Ibrahim bin Thahman -salah seorang perawi hadits di atas- Ibnu Hajar menghukumi hadits di atas sebagai hadits yang mungkar lagi mursal.



Hadits Kesepuluh

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِيْئَ رَمَضَانُ
“Apabila masuk pertengahan dari bulan Sya’ban maka tidak ada lagi puasa hingga datangnya bulan Ramadhan.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq (4/161), Ibnu Abi Syaibah (2/284), Ahmad (2/442), Ad-Darimi (2/29), Abu Dawud (no.2337), Ibnu Majah (no.1651), Ibnu Hibban (no.3589), (3591), Ad-Daruquthni (2/191), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’any Al-Atsar (2/82), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (5/280), Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (no.6863) dan dalam Musnad Asy-Syamiyyin (no.1827), Al-Baihaqi (4/209) dan Al-Khathib (8/48).

Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang kedudukan hadits di atas. Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab[12], Ibnul Qayyim Al-Jauziyah[13], Ibnu Hajar[14], dan Al-‘Aini[15] bahwa hadits dishohihkan oleh At-Tirmidzi, Ath-Thahawi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu ‘Abdil Bar, Ibnu Asakir dan Ibnu Hazm. 

Di versi lain, hadits di atas telah dilemahkan oleh sejumlah ulama yang lebih besar dan lebih berilmu dari mereka dimana mereka berkata bahwa hadits di atas adalah hadits yang mungkar. Demikian komentar Imam Ahmad, ‘Abdurrahman bin Mahdi, Abu Zur’ah Ar-Razi dan Al-Atsram serta diikuti oleh Abu Ya’la Al-Khalili[16] dan Az-Zarkasyi[17] dan lainnya.

Imam Ahmad berkata bahwa hadits di atas adalah hadits yang paling mungkar yang diriwayatkan oleh Al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman.

Dan insya’ Allah pendapat para ulama yang melemahkannya ini yang paling tepat, karena mereka mereka itulah yang merupakan rujukan dan acuan dalam masalah kedudukan dan derajat sebuah hadits.



Hadits Kesebelas

يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَتهُ كَلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ

“Wahai ‘Ali, siapa yang shalat malam nishfu Sya’ban seratus raka’at dengan (membaca) ‘Qul Huwallahu Ahad’ seribu (kali) maka Allah akan menunaikan seluruh hajat yang dia minta pada malam itu.”

Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif (hal.78) dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah (hal.50-51) sebagai hadits yang maudhu’ (palsu). 

Dan baca pula lafazh yang mirip dengannya dalam Lisanul Mizan karya Al-Hafizh Ibnu Hajar pada biografi Muhammad bin Sa’ad Ath-Thabari.

Berkata Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, “Adapun (hadits-hadits) yang menjelaskan tentang shalat pada malam (nishfu Sya’ban) seluruhnya adalah maudhu’ (palsu) sebagaimana yang diingatkan oleh banyak ulama.”[18]

Dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban ada tiga tingkatan:
1.    Orang yang melakukan kebiasaan shalatnya sebagaimana hari-hari lainnya, tanpa meyakini adanya keutamaan khusus bagi orang yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban. Yang seperti ini tidak mengapa, karena tidak ada padanya bentuk bid’ah dalam agama.
2.     Ia melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban tidak pada selainnya. Ini adalah bid’ah dalam agama, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya dan tidak mencontohkannya.
3.      Ia melakukan shalat dengan jumlah raka’at tertentu pada setiap tahun. Ini lebih besar bid’ahnya dan lebih jauh dari Sunnah ketimbang yang kedua. Karena hadits-hadits tentang hal tersebut semuanya maudhu’ (palsu).[19]



Hadits Kedua Belas

مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَهُ

“Siapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban ‘Qul Huwallahu Ahad’ seribu kali, niscaya Allah akan mengutus untuknya seratus ribu malaikat memberi kabar gembira kepadanya.”

Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan pada biografi Muhammad bin ‘Abd bin ‘Amir As-Samaqandi sebagai salah satu bentuk hadits palsunya. Dan disebutkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif (hal.78).



Hadits Ketiga Belas

مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ قَدِ اسْتَوْجُبُوْا النَّارَ

“Siapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya Allah akan mengizinkannya untuk memberi syafa’at kepada sepuluh orang yang telah wajib masuk neraka.”

Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif (hal.78) sebagai hadits yang maudhû’ (palsu).

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Yang mengherankan, ada sebagian orang yang telah menghirup harumnya ilmu Sunnah tertipu dengan igauan ini dan melakukan shalat itu. Padahal shalat tersebut hanya diada-adakan setelah empat ratus tahun (munculnya/lahirnya) Islam dan munculnya di Baitul Maqdis, kemudian dipalsukanlah sejumlah hadits tentangnya.”



Hadits Keempat Belas

مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ: لَيْلَةُ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةُ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Siapa yang menghidupkan malam-malam yang lima (ini), maka wajib baginya surga: malam Tarwiyah, malam ‘Arafah, malam ‘Iedul Adha, malam ‘Iedul Fitri dan malam nishfu Sya’ban.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Ashbahani dari Mu’adz bin Jabal, dan dianggap sebagai hadits palsu oleh Syaikh Al-Alban rahimahullah dalam Dha’if At-Targhib (no.667).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar